Di Balik Kekuatan ada Kepemimpinan Perempuan

Ada tangan yang tak gentar, menggenggam dunia dalam lembutnya sabar
Ada langkah yang mantap, meski kerikil tajam berserakan di setiap tapak

Perempuan, pemimpin yang kadang terlupakan
membentuk kekuatan dari cinta dan asa.
Di balik senyum, tersimpan tekad baja,
mengayomi, membimbing, dan tanpa pernah meminta puja.
Di dapur, ruang rapat, dan medan perjuangan,  
Ia hadir tak hanya menjadi bayangan.
Mengatur kehidupan dengan bijak dan tenang,
Meski badai menghadang, ia tetap berjuang.
Bukan keras suara yang jadi buktinya,  
melainkan keteguhan yang ada di matanya.
Bukan paksaan yang mengukir jalannya,
tapi keteladanan yang menjadi pelitanya.
Di balik kekuatan ada tangannya yang memimpin,  
Di balik keberanian ada hatinya yang meyakinkan
Ia mendengarkan, ia menggerakkan.
Ia menjadi sandaran, ia menguatkan.
Perempuan, pemimpin dunia tanpa mahkota,  
Sinarnya menjangkau segala penjuru semesta.

Sumber : https://id.pinterest.com/

Dapur Sumur Kasur

Dapur, sumur, kasur, surga dunia.  
Tapi apa itu surga jika hanya untuk mereka?
Kau, ratu kecil di istana kerja tanpa upah.
Dapur, tempat kau ukir cinta dengan aroma,  
Tapi siapa peduli jika tanganmu terbakar?
Mereka bilang, "Ah, wanita memang sejatinya di sini,"
Tapi siapa yang mencicipi lelahmu?
Sumur, simbol air kehidupan,  
tapi tak ada kehidupan dalam harapan yang tenggelam.
Di mana pelangi dalam bayangan air itu?
Mungkin hanya ilusi, pantulan air mata.
Kasur, katanya tempat istirahatmu,  
Tapi kapan tidur menjadi mewah bagimu?
Mereka hanya tahu menikmati tanpa bertanya,
"Bagaimana punggungmu yang bekerja dan tak pernah ditopang cinta?"
Dapur, sumur, kasur, lingkar bahagiamu?  
atau lingkar belenggu yang terus memenjara waktu?
Mereka tertawa atas peranmu yang mulia,
sementara mulia hanyalah nama tanpa makna.
Ah, tapi kau kuat, mereka berkata,  
Kuat menahan beban dunia di bahumu.
Sarkasme ini kutulis untukmu,
Karena aku tahu, kau pantas untuk lebih dari itu.
Harta, tahta, wanita,  
Tiga kata yang sering mereka gubah menjadi legenda.
Wanita katanya hanya penghias cerita,
simbol pelengkap dalam perang kuasa.
Harta, mereka rebut dengan segala tipu daya,  
Tahta, mereka pertahankan meski dengan luka.
Tapi wanita?
Dijadikan alat, pelayan ambisi mereka.
“Di balik lelaki hebat ada wanita,” begitu ujar mereka,  
Namun di mana penghargaan untuknya?
Ditinggalkan dalam bayang-bayang nama besar,
Hanya disebut bila diperlukan untuk menakar.
Wanita, bukan harta untuk diperjualbelikan,  
bukan tahta untuk diperebutkan.
Ia adalah jiwa yang hidup,
Kekuatan yang tak lagi bisa mereka lipat dalam mitos kuno.
Patriarki menjanjikan ilusi keadilan,  
namun hanya menawarkan penjara tak kasat mata.
Wanita berdiri, tak lagi tunduk pada permainan,
menuntut tempatnya di panggung kehidupan.
Harta, tahta, wanita,  
Bukan hierarki, tapi seharusnya harmoni.
Di mana manusia dihargai, bukan dimiliki.

Hilmi Intan, mahasiswi di salah satu kampus ternama di Yogyakarta, sedang aktif berkuliah dan sering menghadiri berbagai kegiatan sosial dan ruang diskusi. Puisi ini merupakan puisi pertama penulis yang disalurkan ke media. Karyanya berangkat dari perasaan dan keresahan penulis yang aktif mengikuti isu-isu gender dan pemberdayaan perempuan.

Teman-teman bisa menghubungi penulis di 088987123171 atau Instagram @h.i_bunga.

Tinggalkan komentar

Sedang Tren