
Catahu tahun 2022, mencatat terdapat jumlah 4.660 kasus kekerasan seksual dan 27% di antaranya adalah kasus yang terjadi di lingkup kampus. Data ini tentunya belum termasuk kasus-kasus yang tidak dilaporkan. Data tersebut menunjukkan bahwa ternyata kasus kekerasan seksual di lingkup kampus masih menjadi penyumbang persentase tertinggi. Dalam Catahu tahun 2023 juga tercatat adanya kasus kekerasan seksual di ranah publik khususnya di dunia pendidikan sebanyak 355 kasus. Kekerasan seksual di kampus menjadi isu yang banyak diperbincangkan setelah beberapa kasus pelecehan yang terjadi di kampus mulai terkuak pada ranah publik. Kasus-kasus ini tampaknya masih menjadi pekerjaan rumah (PR) yang harus segera dituntaskan. Kekerasan seksual sendiri merupakan segala tindakan yang dilakukan dengan paksaan untuk melakukan kegiatan atau kontak seksual pada seseorang, khususnya perempuan. Kekerasan seksual merupakan tindakan yang menyakiti perempuan secara seksual, seperti memaksa hubungan seksual atau ekstrimnya perkosaan (Dayakisni & Hunaidah dalam Mannika, 2018).
Dalam realitanya ada faktor yang selalu menjadi sebab terjadinya kekerasan seksual, yaitu ketimpangan relasi kuasa dan ketidaksetaraan gender. Relasi kuasa ialah hubungan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya yang memiliki ideologi tertentu. Lebih jelasnya, relasi kuasa merupakan hubungan yang terbentuk pada orang-orang tertentu yang memiliki kepentingan dengan tingkat kekuasaan berbeda. Kekuasaan menurut Michel Foucault merupakan sebuah dimensi dan relasi, yang di mana terdapat sebuah relasi maka di sana terdapat pula ada sebuah kekuasaan. Kekuasaan inilah yang menjadi faktor seseorang berani melakukan kekerasan seksual. Dalam konteks kekerasan seksual ada relasi kuasa yang timpang. Hal ini juga disampaikan oleh Lisa Oktavia sebagai Manajer Divisi Pendampingan di LSM Rifka Annisa Women’s Crisis Center saat di wawancarai.
“Ada beberapa faktor yang menyebabkan kekerasan seksual di kampus. Salah satunya, ya ketimpangan relasi. Kalau dilihat dari beberapa kasus itu kan biasanya relasinya tidak setara, biasanya pelakunya itu kan dosen, senior, laki-laki, orang yang punya power di kampus dan organisasi. Saya kira sebenarnya ada beberapa kasus yang terjadi pada laki-laki. Siapapun baik laki-laki maupun perempuan berpotensi menjadi korban dan pelaku. Namun memang menurut data lebih banyak perempuan yang menjadi korban.” (Wawancara dengan Lisa tanggal 8 Mei 2023)
Ketimpangan relasi yang muncul menjadikan laki-laki cenderung merasa superior dan lebih dari perempuan. Itu sebabnya kebanyakan korban pelecehan seksual adalah perempuan, meski tidak menutup kemungkinan laki-laki juga bisa menjadi korban. Hal ini terlihat dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) yang mencatat, sebanyak 25.050 perempuan menjadi korban kekerasan di Indonesia sepanjang tahun 2022 (dataindonesia.id).
Menjadi negara dengan budaya patriarki yang kental menciptakan sebuah ketimpangan relasi kuasa di Indonesia, yakni adanya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, ketika laki-laki dilabeli sebagai pihak yang kuat maka perempuan menjadi pihak yang lemah, sehingga dalam kasus kekerasan seksual yang terjadi pun perempuan cenderung tidak mampu melawan sebab terbiasa menjadi pihak yang dianggap lemah.
“Budaya yang dibentuk itu kan patriarki ya, di mana laki-laki terlahir dengan sebuah privilege lebih dari perempuan. Dalam kehidupannya pun laki-laki kerap mendapatkan berbagai label. Laki-laki itu harus jadi pemimpin, gak boleh cengeng. Laki-laki itu harus jadi pemenang. Biasanya juga dari beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus pelakunya adalah laki-laki yang merupakan pacar si korban.” (Wawancara dengan Lisa tanggal 8 Mei 2023)
Hal yang sama juga disampaikan oleh narasumber O, seorang mahasiswi penyintas kekerasan seksual; Narasumber O merasa pelaku adalah laki-laki yang paling mengerti dia. Selain itu, narasumber O juga menyampaikan bahwa hal demikian terjadi karena ia merasa tidak bisa mengambil keputusan sehingga bergantung pada pelaku dalam pengambilan keputusan, yang menurutnya selalu pas dengan yang ia butuhkan.
“Aku menganggap pelaku adalah orang yang paling paham dengan sosok sepertiku, setiap keputusannya seolah-olah yang pas dan sesuai denganku. Entah sudah berapa lama aku seperti itu pun aku gak tahu..“ (Hasil wawancara dengan Narasumber O tanggal 6 Maret 2025)
Adapun dari kasus-kasus kekerasan seksual yang banyak terjadi pada perempuan, terlebih di kampus menimbulkan beberapa dampak terhadap korban. Salah satunya adalah dampak traumatis.
“Dampak yang muncul bisa berupa dampak psikologis seperti kehilangan kepercayaan, takut, trauma, menarik diri dari lingkungan. Kita pernah dengar ada korban perkosaan yang mengalami depresi karena gak punya teman cerita.“ (Wawancara dengan Lisa tanggal 8 Mei 2023)
Dari hasil wawancara dengan Narasumber O dan Narasumber P, mereka juga menyampaikan beberapa dampak khususnya dampak traumatis yang dirasakan setelah mengalami kekerasan seksual yang terjadi.
“Duniaku seolah gelap. Setiap malam, aku dihantui mimpi buruk yang sama. Aku merasa jijik pada diriku sendiri, merasa aneh dan tidak berharga. Aku takut pada semua orang, bahkan pada teman-teman terdekatku. Aku takut mereka akan menghakimiku, melihat dengan mata sinis, atau bahkan menyalahkanku. Aku menarik diri dari pergaulan. Kampus menjadi tempat yang menakutkan bagiku. Setiap kali aku melihat pelaku, jantungku berdegup kencang, kepalaku pusing, mual, dan aku merasa seperti melayang. Aku sengaja bolos kuliah agar tidak bertemu dengannya, tapi itu hanya membuatku semakin tertinggal dan terisolasi. Aku kehilangan kepercayaan pada semua orang. Aku merasa seperti hidup di dunia yang penuh dengan bahaya, di mana siapa pun bisa menyakitiku kapan saja. Aku merasa sendirian, terisolasi, dan tidak ada yang mengerti apa yang aku rasakan.” (Hasil wawancara dengan Narasumber O tanggal 6 Maret 2025)
“Perasaanku sebagai korban yang mengalami kekerasan seksual, aku merasa tidak nyaman dengan lingkungan, menjadi lebih sensitif dalam setiap pergerakan yang tiba-tiba datang. Selain itu kekerasan seksual juga membuatku trust issue terhadap laki laki atau sebuah hubungan.” (Hasil wawancara dengan Narasumber P tanggal 8 Maret 2025)
Beberapa dampak yang terjadi seringkali juga disebabkan oleh anggapan masyarakat yang masih menganggap kekerasan seksual sebagai aib, sehingga membuat para korban juga penyintas merasa malu dan takut untuk bersuara. Korban dan penyintas pada akhirnya memilih diam, bahkan cenderung menyalahkan diri atas peristiwa kekerasan seksual yang mereka alami.
Baca juga: https://percaforwomen.org/2024/12/05/kekerasan-psikis-dianggap-sepele-padahal-fatal-akibatnya/Thoughts and Discussions
“Sebagian masyarakat masih menganggap kasus seperti ini adalah aib yang tidak perlu dilaporkan, karena akan mempermalukan keluarga dan sebagainya.” (Wawancara dengan Lisa tanggal 8 Mei 2023)
Pernyataan di atas sekaligus juga menjadi bagian dari tantangan yang dihadapi oleh LSM Rifka Annisa Women’s Crisis Center, saat menangani kasus kekerasan seksual di kampus. Di mana civitas akademika-nya masih menganggap kasus kekerasan seksual adalah aib yang harus ditutupi demi nama baik kampus.
“Tantangan kami salah satunya adalah kampus yang tidak berani mengungkap kasus yang ada di lingkungannya demi nama baik. Tantangan selanjutnya, pelaku yang memiliki power di kampus, juga mekanisme penyelesaian dari kampus yang belum jelas. Atau juga bisa jadi teman-teman mahasiswi belum paham harus melapor ke mana, khawatir apabila lapor ke dosen malah disalahkan dan diceramahi.” (Wawancara dengan Lisa tanggal 8 Mei 2023)
Kekerasan seksual memang masih menjadi kasus yang sulit dituntaskan. Anggapan bahwa kasus ini termasuk aib ketika diungkap, menjadikan para korban kebanyakan enggan untuk menguak kejadian yang mereka alami dan lebih memilih diam pada kekalutannya sendiri. Bahkan tak jarang ada saja orang tua yang justru mengambil langkah pernikahan sebagai solusi, ketika anaknya mengalami kekerasan seksual, terlebih jika pelakunya adalah pacar si korban. Padahal pernikahan justru akan membuat si korban kembali menjadi korban dan tertekan karena setiap hari harus melihat pelaku kejahatan terhadap dirinya.
“Untuk kasus perempuan dewasa itu justru tantangannya lebih berat karena terbentur dengan perspektif orang di sekelilingnya. ‘Itu kan pacarnya, pasti mau sama mau. Padahal itu kekerasan seksual. Consent bisa terjadi pada orang dewasa ketika mereka paham risiko. Kadang-kadang kan gak seimbang, ada tipu muslihat. Tapi kalau kasus kekerasan seksual yang relasinya adalah pacaran, malah diambil jalur mediasi atau dinikahkan. Kami sebagai pendamping tidak sepakat dengan hal tersebut ya, karena dia adalah korban yang harus mendapatkan keadilan. Itu memang menjadi catatan juga untuk kami yang harus disosialisasikan kepada masyarakat bahwa kekerasan seksual tidak boleh penyelesaiannya melalui mediasi, harus jalur hukum karena kekerasan seksual adalah kejahatan berat.” (Wawancara dengan Lisa tanggal 8 Mei 2023)
“Setelah aku menuruti maunya, karena sudah lelah dengan semuanya, aku makin kehilangan diriku, aku makin masuk ke dalam jurang yang gelap dengan satu ingatan yang dia ucapkan, ‘aku merasa disayangi kalau kamu mau berhubungan intim sama aku.’. Hal itu selalu berputar-putar tanpa lelah dan aku juga bingung kenapa aku kok nurut aja.” (Hasil wawancara dengan Narasumber O tanggal 6 Maret 2025)
Seringkali dalam relasi pacaran, kekerasan seksual yang terjadi memang terlihat samar bahkan seolah tidak ada. Hal tersebut terjadi karena dianggap sudah ada consent sebelumnya. Padahal consent bisa dikatakan ada apabila kedua belah pihak dalam keadaan yang sadar pada risiko, bukan berada dalam posisi penuh tekanan atau dalam relasi kuasa yang tidak setara. Sayangnya, dalam realita yang terjadi, kekerasan seksual pada relasi pacaran baik di ranah kampus maupun di luar kampus lebih banyak terjadi karena tipu muslihat, manipulasi, atau bujuk rayu yang membuat korban terjebak. Narasumber O mengatakan bahwa dirinya tanpa sadar mengikuti semua yang diminta pelaku yang merupakan pacarnya.
“Suatu hari seorang teman mengirimkan link program dengan isu gender. Aku pun mendaftar. Selama mengikuti program, aku merasa aneh dengan materi-materi yang diberikan. Semuanya tidak familiar dan seperti menabrak nilai-nilai yang sudah diajarkan di masyarakat. Satu momen yang membuatku sadar adalah ketika ada cuplikan video-video singkat di mana aku merasa itu berkaitan sama hal yang aku alami. Pada akhirnya aku berani bercerita di forum itu dan aku juga mengajukan pertanyaan apakah lingkaran hubungan yang gak sehat itu bisa dipangkas. Tapi setelahnya, aku memutuskan memperbaiki hubungan karena aku sudah menjalin hubungan pacaran dengan pelaku cukup lama.“ (Hasil wawancara dengan Narasumber O tanggal 6 Maret 2025)
Salah satu hal yang bisa dilakukan saat terjadi kekerasan seksual adalah mencari dukungan yang bisa didapatkan dari teman terdekat. Selain itu, bisa juga dilakukan upaya mencari informasi terkait kekerasan seksual untuk mendapatkan kesadaran baru dan perspektif baru. Misalnya Narasumber O yang mengikuti program dengan isu gender saat diajak temannya. Awalnya, ia merasa materi program bertentangan dengan nilai-nilai yang telah diajarkan, tetapi kesadarannya mulai tumbuh setelah melihat cuplikan video yang relevan dengan pengalamannya. Meskipun keputusan akhir yang diambil Narasumber O adalah tetap memperbaiki hubungan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesadaran saja tidak selalu cukup untuk mendorong seseorang keluar dari hubungan yang tidak sehat, terutama jika ada faktor keterikatan dan harapan akan perubahan. Sebab tak bisa dipungkiri hal-hal demikian sulit untuk dilepaskan dalam waktu yang singkat.
“Saat program selesai, aku memutuskan untuk putus dengan pelaku, dan ternyata reaksi pelaku adalah marah-marah dan bilang semua omonganku adalah kebohongan. Namun sekarang aku sadar bahwa omonganku juga sudah diatur agar yang keluar dari mulutku sesuai kemauan dia. Dia mengancam akan bunuh diri, dia bahkan sudah mengucapkan kalimat-kalimat terakhir untuk aku, dan untuk orang tuanya. Aku tahu aku harus mencari bantuan, tapi aku takut. Aku takut pada penilaian orang, takut pada proses konseling yang mungkin menyakitkan. Aku merasa seperti terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar. Tapi, aku tahu aku tidak bisa terus seperti ini. Aku ingin sembuh, aku ingin merasa aman lagi, aku ingin bisa mempercayai orang lain lagi. Aku ingin bisa keluar dari kamar dan menjalani hidupku tanpa rasa takut. Setelah ada program lanjutan dari program sebelumnya, di situlah aku mulai memutuskan untuk bercerita, aku tidak menangis namun suaraku tidak bisa dibohongi. Semakin banyak ilmu yang kudapat dan semakin aku merefleksikan apa yang sudah menimpaku, semakin aku lihat fakta itu, semakin hancur hatiku dan semakin tergores.” (Hasil wawancara dengan Narasumber O tanggal 6 Maret 2025)
Pengalaman narasumber menunjukkan bahwa ternyata hubungan yang tidak sehat bisa menciptakan sebuah ketergantungan emosional serta ketakutan yang mendalam, sehingga membuat korban sering merasa terjebak, meskipun telah menyadari perlunya keluar dari situasi tersebut. Reaksi pelaku yang penuh manipulasi, seperti kemarahan, gaslighting, dan ancaman bunuh diri, adalah bentuk kontrol yang membuat korban/penyintas merasa bersalah dan ragu terhadap keputusan mereka. Adanya ketakutan dalam diri narasumber terhadap penilaian orang lain dan proses penyembuhan yang membutuhkan waktu, juga menunjukkan bagaimana trauma bisa menghambat seseorang untuk mencari bantuan. Namun, seiring dengan bertambahnya pemahaman melalui program lanjutan, narasumber mulai berani berbicara dan merefleksikan apa yang telah terjadi padanya, meskipun itu menyakitkan. Proses ini menunjukkan bahwa edukasi dan dukungan dari lingkungan yang tepat berperan besar dalam membantu korban menyadari realitas yang dialami. Hal ini pun mendorong mereka untuk bisa mengambil langkah menuju pemulihan dan kebebasan.
“Aku harap, suatu hari nanti, aku bisa melihat ke belakang dan berkata, ‘aku selamat’. Aku harap, suatu hari nanti, aku bisa memaafkan diriku sendiri dan melanjutkan hidupku. Itu kalimat pengharapanku yang sekarang semuanya sudah terjadi. Aku sudah mendapatkan konseling, mendapatkan lingkungan supportif, mengikuti kegiatan-kegiatan positif, sudah memaafkan diri, sudah berdamai dengan keadaan, sudah memperbaiki hubungan persahabatan dengan teman-teman yang sebenarnya mereka adalah orang-orang yang peduli, dan aku berani menceritakan hal-hal yang aku dulu anggap sebagai aib dan ternyata mereka mendukungku tanpa menghakimi sedikitpun.” (Hasil wawancara dengan Narasumber O tanggal 6 Maret 2025)
“Sebagai penyintas kekerasan seksual, hal pertama yang saya lakukan adalah bercerita pada teman dan orang-orang yang saya percaya untuk mendapatkan dukungan dan rasa aman. Selanjutnya sebagai mahasiswa, upaya saya untuk bersuara mengenai kekerasan seksual di kampus berfokus pada beberapa hal penting. Pertama, saya berkomitmen untuk menciptakan ruang aman bagi korban dengan mendengarkan mereka tanpa menghakimi dan memberikan dukungan emosional. Selain itu, saya aktif membagikan informasi dan edukasi tentang kekerasan seksual melalui media sosial, dengan tujuan meningkatkan kesadaran di kalangan teman-teman dan masyarakat kampus. Terakhir, saya berkolaborasi dengan teman teman lain untuk diskusi, sehingga kita dapat membangun lingkungan yang menolak kekerasan dan mendukung korban. Melalui langkah-langkah ini, saya berharap dapat berkontribusi pada perubahan positif di kampus dan menciptakan tempat yang lebih aman bagi semua mahasiswa.” (Hasil wawancara dengan Narasumber P tanggal 8 Maret 2025)
Pernyataan Narasumber O memperlihatka proses penyembuhan dari hubungan yang tidak sehat terlebih yang di dalamnya terdapat kasus kekerasan seksual memerlukan waktu, dukungan, dan keberanian. Narasumber O memiliki harapan untuk bisa selamat, memaafkan diri, dan melanjutkan hidup, yang mencerminkan keinginan kuat untuk keluar dari trauma sehingga ia bersedia menempuh proses panjang untuk sembuh. Beberapa hal yang dilakukan adalah melalui konseling, lingkungan yang supportif, serta keterlibatan dalam kegiatan positif, dengan itu Narasumber O menyampaikan bahwa ia berhasil mewujudkan harapannya. Pengalaman Narasumber O juga menunjukkan pentingnya dukungan sosial dalam pemulihan, di mana teman-teman yang sebelumnya dianggap jauh, ternyata merupakan orang-orang yang peduli dan menerima tanpa menghakimi. Hal serupa juga dilakukan oleh Narasumber P, ia berani terbuka untuk bercerita pada orang-orang terdekatnya. Ini membuktikan bahwa keterbukaan dan keberanian untuk mencari bantuan dapat menjadi langkah awal menuju pemulihan dan kehidupan yang lebih sehat secara emosional.
Hal tersebut tentu menjadi pengingat untuk semua korban dan penyintas kekerasan seksual bahwa perilaku mencari bantuan adalah hal yang wajar dilakukan dan bukan sesuatu yang memalukan, terutama untuk mereka yang mengalami kekerasan seksual di ranah kampus. Langkah yang bisa diambil adalah melakukan pelaporan jika terdapat layanan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di kampus; Selain itu, korban juga bisa mencari bantuan dan dukungan melalui teman-teman terdekat dan terpercaya. Langkah lain yang bisa dilakukan adalah mencari bantuan kepada layanan konseling atau LSM dengan isu gender atau yang berkaitan dengan kekerasan seksual. Langkah-langkah tersebut bisa ditempuh sesuai dengan kebutuhan korban. Kita semua juga perlu memahami hal tersebut agar bisa melakukan upaya pertolongan, saat kita sendiri atau teman-teman terdekat kita menjadi korban kekerasan seksual, khususnya di ranah kampus dengan segala kompleksitasnya. Beberapa upaya lain yang bisa dilakukan adalah seperti yang sudah disampaikan oleh Narasumber P, yaknimenciptakan ruang aman bagi korban dengan mendengarkan mereka tanpa menghakimi, serta memberikan dukungan emosional, serta aktif membagikan informasi dan edukasi tentang kekerasan seksual melalui media sosial, dengan tujuan meningkatkan kesadaran di kalangan teman-teman dan masyarakat kampus. Selain itu, bisa juga melakukan kolaborasi untuk membuat diskusi terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, terutama di wilayah kampus.
Referensi:
- dataindonesia.com. (2022). Ada 25.050 Kasus Kekerasan Perempuan di Indonesia pada 2022. Diakses dari https://dataindonesia.id/ragam/detail/ada-25050-kasus-kekerasan-perempuan-di-indonesia-pa da-2022
- Mannika, G. (2018). Studi deskriptif potensi terjadinya kekerasan seksual pada remaja perempuan. CALYPTRA, 7(1), 2540-2553.
Profil Singkat: Nurul Uyun, lahir di Pemalang. Menyukai dunia kepenulisan sejak SD hingga kini berkuliah di Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Widya Mataram Yogyakarta. Semenjak kuliah, mulai mempunyai ketertarikan pada isu gender dan perempuan, dan sering mengikuti kegiatan dalam isu tersebut. Suka menulis tentang isu gender dan perempuan dan terus mempelajari hingga mendalaminya untuk terlibat lebih banyak lagi dalam kegiatan yang berkaitan dengan perempuan.






Tinggalkan komentar