Dalam sebuah organisasi yang mayoritas anggotanya adalah laki-laki, perempuan seringkali dihadapkan pada posisi dilematis. Di satu sisi, mereka ingin memperjuangkan keadilan, memastikan suara perempuan didengar, serta memastikan semua keputusan yang diambil mencerminkan nilai inklusivitas dan keberagaman. Namun di lain sisi, tekanan untuk menghindari konflik atau menjaga hubungan keanggotaan membuat mereka kerap terpaksa menahan suara, bahkan memilih untuk diam. Hal ini menciptakan tantangan tersendiri bagi perempuan dalam organisasi dan lingkungan kerja, terutama ketika representasi mereka sangat minim.
Kondisi seperti ini tentunya tidak terlepas dari konstruksi budaya patriarki yang masih kuat dalam organisasi yang berkarakter maskulin. Budaya ini membentuk hierarki kekuasaan yang menempatkan laki-laki sebagai pusat pengambilan keputusan dan menentukan norma-norma yang berlaku. Dalam struktur seperti ini, perempuan sering dianggap hanya sebagai formalitas dalam ruang-ruang strategis organisasi sehingga suara mereka dipandang kurang penting atau hanya sekadar pelengkap. Akibatnya, ketika seorang perempuan berani menyuarakan pendapat, ia sering dianggap terlalu emosional atau tidak tahu tempat. Tetapi sebaliknya, ketika ia memilih untuk diam demi menjaga ketenangan situasi, ia akan dicap tidak memiliki keberanian dan tidak cukup kompeten untuk memimpin.
Paradoks tersebut membentuk dilema yang tidak jarang menimbulkan beban emosional. Perempuan merasa seolah-olah harus selalu menyeimbangkan keberanian untuk berbicara dengan risiko dalam menghadapi resistensi dari rekan-rekan mereka. Misalnya, saat rapat pengambilan keputusan, seorang perempuan yang ingin memberikan sudut pandang berbeda harus memikirkan lebih dari sekaedar isi argumennya. Ada pertanyaan-pertanyaan di dalam kepalanya, seperti: Apakah pendapat saya akan diterima? Bagaimana jika suara saya menimbulkan konflik? Apakah saya bisa menghadapi konsekuensinya?
Dominasi budaya maskulin dalam organisasi juga membuat perempuan sulit membentuk jejaring yang kuat. Banyak keputusan strategis yang dibuat dalam ruang-ruang informal misalnya, di luar forum resmi, di sela-sela pertemuan, atau dalam interaksi sosial yang lebih akrab antaranggota laki-laki. Perempuan yang tidak memiliki akses ke ruang-ruang ini seringkali kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan sejak awal. Selain itu, norma-norma patriarkal yang menuntut perempuan untuk bersikap lebih patuh, mengalah, dan tidak menimbulkan konflik semakin menghambat mereka untuk bersuara dan berbicara lantang menuntut perubahan.
Dalam berbagai kasus, perempuan merasa terisolasi, terutama dalam forum-forum diskusi di mana persentase perempuan jauh lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Tekanan untuk menjaga harmoni ini semakin berat ketika seorang perempuan berada di posisi kepemimpinan. Sebagai pemimpin, tentunya mereka dihadapkan pada ekspektasi ganda. Ketika mereka tegas dalam pengambilan keputusan, mereka dianggap terlalu keras. Namun, jika mereka mengutamakan pendekatan yang lebih lembut, mereka dianggap tidak kompeten atau tidak memiliki visi yang kuat. Stigma-stigma ini menciptakan lingkungan yang sulit bagi perempuan untuk bersikap natural dalam kepemimpinan mereka. Akibatnya, banyak perempuan merasa mereka harus melipatgandakan usahanya hanya untuk membuktikan bahwa mereka layak berada di posisinya.
Salah satu tantangan terbesar perempuan dalam organisasi adalah memperjuangkan suara mereka di tengah dominasi laki-laki. Ketika ada usulan yang secara khusus mendukung representasi perempuan, ia yang mengajukan ide tersebut dianggap bias atau seolah-olah memperjuangkan kelompoknya sendiri.
Seperti contoh kecil, larangan untuk merokok dalam suatu forum diskusi di organisasi tersebut. Ketika penikmat rokok dalam organisasi tersebut mayoritas laki-laki dan kami para perempuan mengajukan keberatan karena asap yang mengganggu kenyamanan, saat kami mengikuti forum diskusi. Kritik tersebut pun tetap dianggap bias karena dianggap hanya menguntungkan para perempuan saja, padahal hal itu diajukan demi masalah kesehatan terhadap orang-orang yang menghirupnya. Akibatnya, banyak perempuan memilih untuk diam atau tidak menonjolkan pendapat mereka, karena mereka sadar suara mereka tidak berarti apa-apa. Meskipun, di lain sisi mereka tahu bahwa suara mereka juga penting untuk menciptakan keadilan dan keseimbangan dalam organisasi.
Namun menurut saya, setidaknya dari pengalaman saya sendiri, saya semakin menyadari bahwa memilih diam atau mundur hanya akan memperkuat struktur patriarki yang tidak adil. Saya mulai berani menyuarakan pendapat saya, meskipun sadar bahwa hal itu dapat memicu konflik. Saya memahami bahwa memperjuangkan keadilan tidak akan selalu diterima dengan baik oleh semua pihak, tetapi tetap penting untuk dilakukan demi perubahan yang lebih baik.
Konflik bukanlah sesuatu yang harus dihindari, melainkan dapat menjadi alat untuk menciptakan dialog yang lebih baik. Dalam proses ini, seharusnya kita semua belajar baik perempuan maupun laki-laki bahwa keadilan tidak berarti mencari dominasi, melainkan menciptakan keseimbangan di mana semua suara dihargai. Harmoni sejati dalam organisasi hanya dapat tercapai ketika semua pihak tanpa memandang gender memiliki kesempatan yang setara untuk berkontribusi.
Sebagai bukti, ketika seorang perempuan berani menentang keputusan sepihak yang merugikan banyak orang, ia bukan hanya memperjuangkan prinsip keadilan, tetapi juga memberikan pelajaran berharga bagi seluruh rekan-rekan dan anggota organisasi yang lain. Ia menunjukkan bahwa kepemimpinan bukan sekadar soal jabatan, tetapi tentang keberanian untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran meskipun berada di tengah tekanan.
Perempuan tidak perlu memilih antara mendukung keadilan atau menghindari konflik. Dengan strategi yang matang, komunikasi yang baik, pemahaman yang jelas, dan keberanian untuk bertahan pada prinsip yang benar, perempuan dapat menciptakan perubahan tanpa harus mengorbankan harmoni dalam organisasi. Perempuan bukan hanya penjaga hubungan, tetapi juga agen perubahan yang mampu mengarahkan organisasi menuju inklusivitas dan keberlanjutan.
Profil Singkat: Bunga, bukan tipe yang diam saat hal-hal penting cuma jadi bisik-bisik. She talks about faith, identity, safe space, and all the stuff people avoid.
Karena jadi manusia itu bukan yg santai-santai aja, tapi bagaimana agar bisa berguna. Sebab, “Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama”, That’s not just a quote. It’s her way of being.






Tinggalkan komentar