Mereka ada tapi, dianggap kasat mata. Mereka mampu tapi, dianggap sebelah mata. Hal hebat yang mereka lakukan selalu dianggap biasa. Keistimewaan mereka dipergunakan layaknya bukan milik manusia. Mereka mampu menaklukkan dunia tetapi, dunia hanya menganggap mereka sebagai figuran, bukan seorang tokoh utama dalam sebuah cerita.
Sepiring nasi hangat dengan berbagai lauk selalu tersedia di meja makan. Dengan terburu mereka menyiapkannya, dimasak dan dihidangkan sedemikian rupa agar mampu memanjakan lidah para penghuni rumah. Ketika yang lain duduk dan menyantapnya, mereka masih disibukkan dengan pelayanan dan permintaan. Hingga bagian milik mereka adalah nasi yang tak lagi hangat dan sisa-sisa lauk di piring. Dan ketika semuanya mulai pergi, hanya mereka yang tinggal untuk membereskan tumpukan piring dan gelas. Jika ada yang tak sesuai seperti hidangan yang belum siap, makanan yang tak sesuai, peralatan masak dan dapur yang berantakan maka kecaman akan datang pada mereka.
Pakaian bersih yang tergantung rapi dan wangi selalu mereka siapkan. Membasahi pakaian dengan air dan sabun di pagi hari hingga menjemurnya di siang hari. Menghaluskan dan merapikannya juga mereka lakukan hingga malam. Bahkan tak jarang, mereka harus bertanggung jawab atas berantakannya pakaian di lemari atau hilangnya selembar kaus kaki yang tak pernah mereka gunakan.
Lantai yang licin bersih, perabot yang bebas debu, halaman tanpa daun kering dan rumput liar adalah hal-hal yang juga harus mereka usahakan. Mengurusnya seolah itu semua adalah tanggung jawab mereka seorang diri. Sekali lagi, jika semua tadi tidak mereka usahakan, istilah “tak becus” akan keluar untuk mereka.
Pendidikan yang tinggi adalah salah satu impian terbesar mereka. Mereka ingin mengusahakan impian itu dengan berbagai cara untuk menggapainya. Tapi terkadang mereka akan dipatahkan dengan dipaksa mengalah, mengubur mimpi, atau mendapat celaan “tak guna berpendidikan tinggi karena tugasnya hanya dapur, sumur, dan kasur” yang diucapkan dari orang terdekat atau bahkan orang tak dikenal sekalipun. Bagi mereka yang berhasil menggapainya, tetap tak ada jalan yang mulus di sana.
Di masa sekarang yang semuanya serba memerlukan uang, tak luput mereka juga dituntut untuk menghasilkan uang dengan cara bekerja. Mereka mengusahakannya dengan air mata dan keringat yang menetes setiap hari. Namun, tak ayal balasan yang mereka dapat tak sesuai karena katanya mereka bukan ahlinya.
Merawat diri juga bagian yang diharuskan bagi mereka. Mereka dituntut untuk indah bukan karena itu hak, tapi agar mereka terlihat. Bahkan saat mereka melakukannya untuk memperkuat diri sendiri. Namun bila bagi dunia itu dianggap berlebihan, mereka akan disebut “penggoda”.
Mereka juga seorang pemberi kehidupan baru. Membawa kehidupan dari segumpal darah yang berdetak hingga menjadi seorang manusia kecil. Berjudi dengan malaikat maut, mereka lakukan untuk mendatangkan manusia baru ke dunia. Tapi lagi-lagi, tanpa apresiasi dan tepuk tangan dari dunia. Semua dianggap kewajiban yang harus dilakukan.
Dari semua hal yang selalu mereka usahakan, imbalan yang mereka dapatkan terkadang minus bahkan nihil. Tamparan untuk sepiring nasi dingin. Bentakan untuk selembar kaus kaki yang hilang. Lemparan barang untuk penempatan kunci yang salah. Diabaikan, disisihkan, dianggap tak layak, tapi tetap diperas dan dimanfaatkan di ruang kelas. Disepelekan dan dibungkam dalam rapat. Dilecehkan dan direndahkan hanya karena ingin berani menunjukkan diri. Dianggap pabrik anak tanpa dipedulikan apa yang dirasa. Dianggap diam padahal tak diberi kesempatan atau bahkan dibungkam. Disalahkan atas hal yang tak pernah mereka lakukan. Hingga mereka merasa tak ada tempat yang aman untuk berlindung dan menumpahkan perasaan yang menyumbat hati mereka. Karena mereka terus dianggap lemah dan tak berdaya.
Mereka adalah perempuan. Mereka juga manusia. Perempuan yang dilahirkan menjadi manusia bukan seorang penghasil masakan, mesin laundry, robot pembersih, bukan juga seorang pabrik anak, atau bahkan seorang pemuas nafsu. Mereka adalah perempuan yang juga memiliki mimpi serta keinginan, entah menjadi profesor, direktur, arsitek, bahkan lebih. Mereka sama. Mereka juga membutuhkan pelayanan, perlindungan, ruang dan kebebasan untuk mengekspresikan diri kepada dunia. Mereka ada juga untuk merasakan kasih sayang, pembelaan, dipahami, dan dimengerti. Mereka juga manusia yang ingin merasakan kesetaraan dan kebebasan. Bebas menunjukkan diri pada dunia tanpa rasa takut dibayang-bayangi penghakiman orang lain. Bisa bebas keluar menjelajah tanpa perlu khawatir diikuti oleh mata dan panggilan tak bermoral yang mengganggu.
Tapi, hierarki dunia menempatkannya di bawah laki-laki. Mereka dianggap tak akan mampu berdiri sejajar dengan laki-laki. Hanya karena mereka dianggap lemah sebab memiliki rasa kasih sayang yang lebih besar. Sebenarnya apa yang membedakan antara seorang perempuan dan seorang laki-laki, bukankah manusia sendiri terlahir ke dunia karena keduanya? Tapi mengapa ketidakadilan masih betah menyasar pada perempuan?
Profil singkat: Pangestu, seseorang yang tinggal di Gunungkidul, suka membaca dan merangkai kata. Menyukai hal-hal berbau misteri dan sejarah. Ia sedang berusaha untuk berdiri di atas kakinya sendiri dan belajar untuk melangkah menjelajahi dunia.






Tinggalkan komentar