Nama Frida Kahlo bersinar karena keberaniannya melukis dan menulis. Dalam buku Frida Kahlo yang ditulis oleh Drajat T. Jatmiko, kita akan menyelami kehidupan dan karya Frida seperti melangkah ke dalam dunia yang penuh warna dan emosi. Buku ini membahas biografi Frida Kahlo, dan sebuah perjalanan emosionalnya.
Frida Kahlo lahir pada 6 Juli 1907, di Coyoacan, Meksiko, sebuah rumah yang dikenal sebagai Casa Azul. Sejak kecil, ia telah menghadapi berbagai tantangan yang membentuk karakternya. Penyakit polio yang menyerangnya pada usia enam tahun membuat Frida harus berjuang menerima kondisi tubuh yang lemah. Ia mengalami kesulitan dalam bergerak dan harus berjuang melawan stigma sosial yang melekat pada orang-orang dengan disabilitas. Namun, tampaknya semangatnya tidak pernah padam. Frida menemukan perjalanan panjang dalam seni, medium untuk mengekspresikan segala rasa sakit dan keindahan hidup.
Perkaranya tidak sampai di situ saja; takdir seolah belum puas menguji Frida. Di usia remaja, ia kembali menghadapi peristiwa nahas yang mengubah hidupnya selamanya. Sebuah bus yang ditumpanginya mengalami tabrakan, kemudian dalam sekejap, hidupnya berubah. Cedera serius pada tulang belakang dan panggul memaksanya menjalani berbagai operasi yang menyakitkan. Selama masa pemulihan, Frida mulai melukis. Dari sini, lahir karya-karya yang kita kenali hari ini. Di balik semua itu, ada kekuatan yang terpendam, semangat membara dari jiwa seorang Frida.
Jatmiko, dalam bukunya (2020), menggambarkan rasa sakit fisik dan emosional yang dialami Frida menjadi sumber inspirasi bagi banyak karyanya. Ia menulis dengan penuh penghayatan, mengajak pembaca merasakan setiap detak jantung Frida, setiap tetes air mata yang jatuh, bahkan senyuman yang terukir di wajahnya.
Sebagai penulis, Frida memberi kejujuran dalam karyanya. Buku harian yang ditulisnya, The Diary of Frida Kahlo: An Intimate Self-Portrait, adalah contoh nyata bagaimana Frida mengekspresikan perasaannya. Dalam satu entri, ia menulis, “Saya ingin melukis, tetapi saya tidak bisa. Saya ingin hidup, tetapi saya tidak bisa.” Kalimat tersebut mengungkapkan kejujuran atas konflik batin yang dialami Frida. Antara keinginan untuk berkarya dan rasa sakit yang menghalangi. Buku harian ini adalah catatan harian sekaligus karya seni yang mencerminkan kedalaman emosional dan kejujuran. Setiap halaman di dalamnya seumpama abstraksi dari jiwa Frida yang sedang berjuang menemukan makna hidup.
Jatmiko juga menyoroti tema identitas yang kuat dalam karya Frida Kahlo. Ia menggambarkan Frida yang menggabungkan elemen-elemen budaya Meksiko dalam karyanya, menciptakan identitas yang unik. Frida mengenakan pakaian tradisional Meksiko, simbol kebanggaan terhadap warisan budayanya.
Namun, di balik semua keberanian dan semangat, tersimpan sisi lain yang tidak bisa kita abaikan. Hubungan Frida dengan suaminya, Diego Rivera, adalah sebuah kisah cinta yang rumit dan penuh konflik. Jatmiko menggambarkan tentang cinta dan konflik dalam hubungan rumah tangga mereka yang disampaikan melalui karya-karya Frida. Mereka saling mencintai, tetapi juga saling menyakiti. Frida membongkar perasaannya terhadap Rivera, menciptakan karya yang mencerminkan cinta dan rasa sakit yang dialaminya. Lukisan The Two Fridas adalah salah satu contoh yang paling mencolok, dua sisi dari diri Frida: satu yang mencintai Rivera dan satu yang terluka oleh pengkhianatan.
Frida adalah pejuang, baik dalam seni maupun dalam hidup secara universal. Ia menantang norma-norma yang ada, menunjukkan bahwa perempuan memiliki hak untuk merasakan dan mengekspresikan emosi mereka. Di tengah riuhnya dunia yang menuntut kita untuk berpura-pura kuat, sebaliknya Frida menegaskan perihal kejujuran. Menurutnya, hidup beserta tantangannya seharusnya dipandang seperti sebuah karya seni yang layak untuk dirayakan. Dalam setiap lukisan, ada cerita yang menunggu untuk diceritakan, dan setiap goresannya adalah jiwa yang berteriak untuk didengar.
Selain itu, Frida Kahlo adalah aktivis yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan keadilan sosial. Ia melukis untuk diri sendiri, dan di saat bersamaan lukisannya mewakili suara perempuan-perempuan yang terpinggirkan, yang suaranya sering kali tidak didengar. Melalui satu pernyataan, ia menulis: “Saya adalah seorang perempuan, dan saya bangga akan hal itu. Saya tidak akan membiarkan siapa pun merampas suara saya.” Sebuah manifesto, seruan untuk merayakan identitas dan kekuatan perempuan. Ia mengekspresikan pandangannya tentang ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang dialami oleh perempuan di hadapan masyarakat patriarkal.
Kahlo juga dikenal karena keberaniannya dalam mengekspresikan identitas seksualnya. Ia tidak takut untuk menunjukkan sisi-sisi dirinya yang dianggap tabu oleh masyarakat pada zaman tersebut. Ia kerap kali mengeksplorasi tema-tema seperti cinta, seksualitas, dan identitas gender. Hal ini menjadikan Frida sebagai salah satu pelopor dalam seni feminis, menginspirasi banyak seniman perempuan di seluruh dunia untuk berani.
Dengan demikian, buku Frida Kahlo karya Drajat T. Jatmiko dapat kita anggap selayaknya penghormatan kepada seniman yang mengubah cara kita melihat seni, identitas, dan perjuangan. Melalui penulisan yang puitis dan reflektif, Jatmiko berhasil menangkap esensi dari sosok Frida Kahlo. Mari kita teruskan perjuangan ini, merayakan setiap momen hidup dengan penuh keberanian!
Sumber:
Jatmiko, Drajat T. Frida Kahlo. (2020).
Kahlo, Frida. The Diary of Frida Kahlo: An Intimate Self-Portrait. 1995
Herrera, Hayden. Frida: A Biography of Frida Kahlo. 2002.
Gallo, Marcia. Frida Kahlo: The Artist Who Painted Herself. 2005.
Profil singkat: Oliena Ibrahim adalah nama lain dari Inda Sari Ibrahim. Menulis esai, cerpen, puisi, kritik sastra, naskah teater, dan naskah film. Karya-karyanya tersebar di sejumlah media massa, buku, koran, serta majalah. Kini sehari-hari bekerja sebagai pengelola situs web di Yogyakarta.





Tinggalkan komentar