Frustrasi ini melampaui kekecewaan politik biasa. Saya menyaksikan bagaimana akal sehat sebagai pilar fundamental peradaban, tererosi secara sistematis di ruang publik kita. Setiap hari, disinformasi merajalela, menggantikan fakta dengan narasi yang mudah viral. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat sejak Juli 2023 hingga Maret 2024, terdapat lebih dari 3.235 konten hoaks terkait Pemilu yang beredar, dan nyaris 2.000 di antaranya sudah dihapus. Angka ini adalah alarm bagi krisis pengetahuan yang melanda demokrasi kita (Kementerian Kominfo, 2024).
Fenomena tersebut berakar pada fragmentasi ekosistem kebenaran. Ketika narasi politik lebih diutamakan ketimbang data, dan kemenangan dianggap lebih penting daripada pemahaman, diskursus publik berubah menjadi pertarungan emosi, bukan dialog rasional. Laporan Reuters Institute (2025) menyatakan bahwa 79% masyarakat Indonesia mengakses berita melalui internet dan media sosial, yang menjadi arena utama pembentukan opini publik sekaligus ladang subur bagi manipulasi informasi.
Fatalnya, kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi terancam oleh penyalahgunaan instrumen hukum seperti UU ITE. Amnesty International Indonesia (2024) melaporkan peningkatan signifikan penggunaan UU ITE terhadap aktivis, akademisi, dan jurnalis yang mengkritik kebijakan publik. Hal ini menimbulkan paradoks serius, yaitu ruang demokrasi yang seharusnya menjadi tempat kritik konstruktif, malah membungkam suara-suara kritis yang berbasis data dan logika.
Media, yang semestinya menjadi benteng logika publik, kini terperangkap dalam logika viral. Data Reuters Institute (2025) menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap media hanya 36% stagnan, jauh di bawah rata-rata global. Meski ada pengecualian seperti Tirto.id dan Tempo yang konsisten menghadirkan jurnalisme mendalam, mayoritas media daring lebih fokus mengejar klik daripada memperdalam analisis.
Erosi Modal Sosial dan Ketimpangan Pengetahuan
Dampak nyata dari disinformasi adalah erosi modal sosial dan ketimpangan pengetahuan. Survei Indonesian Survey Circle (2023) mengungkapkan bahwa 78% responden enggan berdiskusi politik dengan orang yang berbeda pilihan. Polarisasi membuat dialog publik kehilangan daya transformatifnya, menggantikan dialog rasional dengan kebisingan ideologis.
Namun, saya yakin demokrasi kita belum mati. Dalam perjalanan angkot di Jakarta, saya menyaksikan dua penumpang dengan preferensi politik berbeda berdiskusi dengan sopan. Mereka saling menunjukkan sumber berita, menyanggah dengan fakta, tanpa menyulut konflik. Percakapan itu mengingatkan saya pada konsep deliberative democracy oleh Jürgen Habermas, yang menegaskan pentingnya ruang publik yang sehat untuk dialog rasional, meskipun dalam perbedaan.
Pelajaran penting bisa kita pelajari dari negara lain. Finlandia, menurut laporan OECD (2023), sudah lama mengintegrasikan literasi media dan keterampilan berpikir kritis ke dalam kurikulum sekolah dasar. Siswa diajarkan mengenali bias, mengevaluasi sumber, dan memahami konteks informasi. Pendekatan ini tidak menjamin kebal hoaks, tapi membekali warga dengan daya tahan kognitif yang kuat.
Di Indonesia, sejumlah komunitas dan inisiatif teknologi mulai muncul sebagai upaya merespons krisis ini. Kolaborasi antara CekFakta.com, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Drone Emprit membangun infrastruktur verifikasi publik yang dapat diakses siapa saja. Startup seperti Verifikasi.co.id mengembangkan fitur pelacakan informasi berbasis kecerdasan buatan. Meski belum masif, inisiatif ini menunjukkan bahwa teknologi bisa jadi alat bantu pemulihan akal sehat publik jika digunakan dengan benar (CekFakta.com, 2024).
Dari sisi regulasi dan edukasi, pemerintah juga mulai mengambil langkah positif. Kominfo meluncurkan kampanye literasi digital yang menargetkan berbagai lapisan masyarakat, mulai pelajar hingga lansia. Kampanye tersebut bertujuan meningkatkan kesadaran terhadap bahaya hoaks dan cara memverifikasi informasi, sebagai respons terhadap data hoaks yang terus beredar di media sosial (Kementerian Kominfo, 2024).
Sayangnya, perubahan sejati bukan sebatas perkara teknologi atau regulasi, melainkan juga budaya. Beberapa waktu lalu, saya hadir dalam diskusi kampus yang menolak mengundang politisi viral yang kerap menyebarkan narasi tanpa substansi. “Kami butuh ahli, bukan entertainer,” ujar salah satu mahasiswa. Sikap ini adalah perlawanan moral yang sederhana namun kuat. Seperti kata Goenawan Mohamad, “Kemerdekaan pers bukan hanya bebas bicara, tapi bebas dari kebodohan.”
Dari pengalaman sehari-hari, saya juga melihat perubahan kecil yang menguatkan. Tetangga saya, seorang ibu rumah tangga yang mulai terbiasa mengecek fakta sebelum menyebarkan berita ke grup WhatsApp keluarga. Selain itu, seorang guru sekolah kejurusan yang bersampingan bangku kereta dalam perjalanan Jakarta-Jogja, beberapa hari lalu bercerita kepada saya; ia mengajarkan murid-muridnya bagaimana membedakan berita fakta dan opini. “Hal-hal kecil seperti itu penting sebagai fondasi membangun kesadaran kritis secara luas,” ucapnya.
Perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil. Setiap kali kita bertanya “Sumbernya mana?” sebelum membagikan sesuatu, atau ketika kita memilih membaca laporan riset daripada hanya menyimak cuplikan influencer, kita sedang menyelamatkan demokrasi dari kebisingan. George Orwell pernah menulis, “Di zaman penuh kebohongan, mengatakan kebenaran adalah tindakan revolusioner.” Kini di Indonesia, revolusi itu bisa sesederhana memilih berpikir kritis dan rasional.
Kebenaran bukanlah hadiah, ia api yang kita pelihara bersama. Api itu akan terus menyala selama ada orang yang tidak menyerah pada kebodohan. Seperti yang Pramoedya Ananta Toer katakan, “Manusia hanya bisa berjalan lurus jika dia punya hati melihat kebenaran dan keberanian mengatakannya.”
Pada arus krisis pengetahuan ini, membela logika adalah bentuk cinta tanah air paling radikal.
Sumber:
- Kementerian Kominfo. (2024). Siaran Pers No. 218/HM/KOMINFO/03/2024
- Reuters Institute. (2025). Digital News Report 2025 – Indonesia
- Amnesty International Indonesia. (2024). Laporan Tahunan: Hak atas Kebebasan Berekspresi
- CekFakta.com, AJI, Verifikasi.co.id (2024)
Profil singkat: Oliena Ibrahim adalah nama lain dari Inda Sari Ibrahim. Menulis esai, cerpen, puisi, kritik sastra, naskah teater, dan naskah film. Karya-karyanya tersebar di sejumlah media massa, buku, koran, serta majalah. Sehari-hari bekerja sebagai pengelola situs web di Yogyakarta.





Tinggalkan komentar