Buwa adalah manusia. Miliki nyawa dan raga yang sama. Lahir dengan sempurna, bukan biru, bukan! Memulai semua penuh lugu dengan nikmat-Nya ulir uterus. Bertemu welas warna-warni, apakah jalan penuh duka atau kah suka? Ditempuh. Hingga bertaruh nyawa untuk awal asa baru.
(Tulisan terinspirasi dari prosesi adat Gorontalo: Mongubingo, Momeati, Motolobalango, Molonthalo)
BUKAN BIRU, BUKAN!
Nyawa baru bersuara, di antara biru.
Dari tanah, lantai, dipan, dan ranjang.
Tangis pertama pecah senyaring-nyaringnya,
Ada air mata haru dan sorak kegirangan,
Apakah itu bahagia tanpa syarat?
Diam-diam, ada desas desus gelisah menggila.
“PEREMPUAN”, bisik-bisik, berisik.
Mereka menyebut dan bercerita seperti sebuah anugerah.
Nyatanya kata itu adalah nasib dalam tinta rapuh atas vaginanya.
Ditulis wangi dan cantik tanpa tanya, tanpa rasa.
Amat menawan hingga menjadi tawanan.
Dia disambut bukan karena nyawa,
tapi karena tubuhnya adalah manekin.
Dikepang, dikuncir, digerai dan balik lagi,
Didandani kostum hingga aksesoris lalu diulangi lagi,
Kemudian benar-benar menjadi patung atas nama Tuhan, diwudhukan, dipakaikan kuningan, ditandai kapur dan kunyit, duduk di atas bantal di pangkuan ibu, diambillah pisau, ditutuplah kain putih. Dia meraung, kata mereaka hanyalah smegma, tapi dilukai, berdarah!
Dibiarkan dia terisak sesak,
Dibujukkan kebaikan yang fana,
Dibisikkan doa agar terjaga kesucian,
Mereka bersyukur, tapi meraka lupa, bahwa merekalah keburukan itu!
ULIR UTERUS
Mereka bersorak “SUDAH PEREMPUAN”.
Aku biasa, seperti terbiasa, tapi mulai terasa.
Tubuhku terbentang lautan merah, pasang surut dalam sebulan, arusnya buat uring-uringan hingga pingsan, dasarnya mengoyak isi perut, ombaknya menghantam rahim. Terus bergelombang siang dan malam, sakitnya menjerit sampai ke nadi-nadi. Nyeri.
Oh, amboi ….
Aku lugu, hanya tau melucu, tiba-tiba membisu.
Tubuhku bermetamorfosa. Folikel rambut tumbuh, payudara menonjol, pinggul melebar, tubuh melekuk, suara mendayu. Mengepakkan sayap dan siap terbang, namun incaran birahi oleh mata mereka menguntit dan melucuti. Sakit.
Duh, gusti ….
Aku bersemangat, penuh sepakat, lalu sekarat.
Tubuhku bahan koran desa. Ditulis tanpa kuminta, halaman depan adalah cerca, judul besar kotor dan dosa, dicetak tebal penuh stigma, dibaca semesta lalu diadatkan budaya dan diaminkan agama. Pilu.
Nanawau eyi ….
Aku hanya nyawa, sama sepertimu.
Aku hanya berdarah, sama sepertimu.
Aku hanya manusia, sama sepertimu.
Aku dan kamu, kita hanya-Nya.
WELAS WARNA-WARNI
Warna penuh doa.
Warni pancaran suci.
Warna dingin menentramkan hati.
Warni hangat menenangkan jiwa.
Warna- warni kemegahan ada di mataku. Tepat di depan ini.
Aku tersipu,
Aku dag dig dug,
Aku malu-malu,
Aku tak henti kikuk,
dan terperangkap dalam semu.
Mataku didekap ilusi,
Sadarku dininabobokkan,
Mereka dengan sirih dan pinang, niat suci berakal muslihat.
Angka-angka dibisikkan, mahar dihitung seperti harga, negosiasi layaknya jual-beli dan aku bendanya. Aku terdiam, ditemani kelambu berenda emas, kuningan tembaga bertaburan, kain tile dan beludru saling melapisi, megah dalam kotak 3×4.
Mereka bilang, “Bahagialah, memang begini perempuan”
Sumur, dapur, kasur adalah harga atas diriku.
Suami dilayani, dijawab lembut, dipuaskan hasrat.
Anak dijagai, diberi makan, diajar sikap.
Keluarga dipahami, diberi sapa, diberi harta.
Masyarakat dihormati, didengar benar, dijalani tulus.
Adat dilakoni, diakui hati, dijalani hari-hari.
Agama dipatuhi, dibenarkan akal, dimohonkan sujud.
Semua jadi sayatan, luka menganga, berair nanah, mengganas di sekujur tubuhku, membajak aliran darahku, memakan organku, memutuskan napasku.
…. Dan aku raga yang mengemis nyawa.
AWAL ASA
Heh?
Kapan?
Kenapa?
Berjuta tanya tentang tubuhku.
Nyawa ini datang dari surga.
Kenapa terus mengorek alurku.
Jiwa ini kemurnian dunia.
Hentikan bacotmu atau kubacok.
Dan hanya jika aku yang mau!
Rahimku tak hanya organ,
Dia dunia indah nan sunyi,
Dia kehidupan yang sempurna,
Dia keberadaan atas benih-benih,
Dia simfoni detakan yang diam,
Dia gerakan yang lemah lembut,
Dan hanya aku yang tau!
Mereka berteriak “BIASA SAJA PEREMPUAN”
Rahimku. Itu kesepakatan dengan Tuhan,
Untuk rahimku, kurelakan namaku hina,
Rahimku. Itu taruhan dengan pmengasingan,
Untuk rahimku, kuikhlaskan tubuhku dicela,
Rahimku. Itu kebahagiaan atas harapan,
Untuk rahimku, kupanjatkan doa tak terhingga.
Setidaknya nyawa baru merasakan nyawaku berjuang.
Setiap aku menemui aksararasa
Hal terindah adalah wanita
Maka aku tuliskan asa
Dalam larik penuh rasa
Profil singkat: Deswari terlahir di pertengahan Januari 1993. Anak pertama dari 2 perempuan, lahir dan besar di Gorontalo. Selalu jatuh cinta dengan seni, budaya, sejarah dan aksara. Saat ini, terus mencari dan belajar soal dirinya yang sebagai manusia dan perempuan.





Tinggalkan komentar