Saat ini aku bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT), usiaku 29 tahun. Aku bekerja sebagai PRT di usia 26 tahun, di mana saat itu pandemi terjadi. Pandemi membuat hampir kegiatan ekonomi lumpuh. Sebelum pandemi aku bekerja sebagai travel consultant untuk sebuah travel agent. Memutuskan menjadi PRT adalah jalan keluar dan solusi yang aku pikirkan saat itu karena aku butuh pekerjaan secepatnya dan harus membiayai keluargaku.

Pertama kali menjadi PRT perasaanku sedih dan marah karena aku tidak suka dengan pekerjaan ini. Pekerjaan yang identik dengan pekerjaan kelas rendah, penuh diskriminasi, rentan kekerasaan, dan upah yang tidak layak. Pekerjaan pertamaku sebagai baby sitter digaji sekitar Rp 1.500.000, -. Anak yang aku asuh saat itu berusia 5 tahun. Tinggal dan bekerja di rumah pemberi kerja saat itu membuatku merasa sangat tidak nyaman, ditambah ibu dari bos aku memperlakukan aku dengan sangat tidak baik. Aku sering mendapat kekerasan verbal, bahkan aku diawasi hampir 24 jam oleh ibu bos aku. Jam kerja yang lebih dari 12 jam membuatku lelah secara mental dan fisik, kemudian aku memutuskan untuk resign.

Pandemi tidak kunjung berakhir dan aku tetap memutuskan untuk bekerja sebagai PRT dari satu rumah ke rumah yang lain. Kekerasaan dan kerja tidak layak terus aku alami, dari kekerasan verbal, kekerasan fisik, hingga kekerasan ekonomi yaitu upah yang tidak dibayar. Diskriminasi sering aku alami, terlebih karena kulitku sawo matang dan mataku sipit, aku sering mendapatkan diskriminasi dari pemberi kerja maupun teman kerjaku. Bahkan tak jarang, aku menjadi bahan olok-olokan teman-teman kerjaku, sehingga aku sering sekali menangis di kamar mandi saat bekerja.

Pengalaman yang paling aku ingat dan membuatku trauma hingga saat ini adalah ketika aku bekerja di rumah salah satu orang terkaya di Semarang, rumahnya sangat besar dengan jumlah PRT-nya saat itu 8 orang. Aku bekerja mulai dari jam 4 pagi hingga jam 9 malam dengan waktu istirahat 1 jam di siang hari. Fasilitas kamar dan makan jauh dari kata layak, aku hanya diberi 2 x makan per harinya dan 1 kamar yang berisi 8 orang, serta hanya 1 kamar mandi dengan tidak disediakan peralatan mandi. Semua kebutuhan untuk mandi dan menstruasi harus aku beli dengan gajiku sendiri. Pekerjaanku saat itu adalah membersihkan lantai atas, mengasuh cucu dari bos aku, mencuci, menyetrika, membersihkan kebun, hingga mengasuh anjing bos aku.

Walaupun mereka sangat kaya dan rumahnya modern, akan tetapi para PRT-nya bekerja menggunakan cara tradisional. Misalnya para PRT harus mencuci baju dengan menggunakan tangan. Kami mencuci di lantai 2, dan jika sudah selesai kami menjemur baju di lantai 3 dengan membawa ember berisikan cucian baju menaiki tangga. Setelah itu, keesokan harinya kami harus membawa jemuran dari lantai 3 ke lantai bawah untuk dijemur di halaman agar segera kering. Tak sampai di situ saja, jika cucian sudah kering kami harus mengangkat kembali cucian itu ke lantai 3 untuk disetrika. Di ruang setrika kami pun diawasi dengan CCTV yang terhubung ke kamar bos kami. Jika kami ketahuan berbicara atau bercanda saat menyetrika, kami akan dimarahi habis-habisan, pun jika baju yang kami setrika kurang rapi dan licin, kami harus mengulangi sampai rapi sesuai perintah bos kami.

Begitupun dengan perihal pel, kami tidak boleh menggunakan alat pel modern, kami diharuskan mengepel dengan kain dan tangan. Jadi cara bekerja kami adalah mengepel lantai dengan lap kain dan tangan dengan posisi kami membungkuk, sungguh itu sangat menyiksa dan menyakitkan. Tak hanya sampai di situ, untuk perihal membersihkan kebun, kami tidak boleh menggunakan gunting rumput, kami diharuskan mencabut rumput dengan tangan di mana saat itu kebunnya sangat luas. Aku merasa tidak sanggup lagi bekerja di rumah itu, aku memutuskan resign setelah mendapatkan gajiku yang mana saat itu gajiku hanya Rp 1.500.000, -.

Setelah itu aku memutuskan tidak bekerja selama 2 bulan karena aku benar-benar trauma dengan pekerjaanku, hingga akhirnya aku melihat sebuah tawaran kerja di Facebook dengan gaji dan jobdesc yang menurutku saat itu layak dan aku impikan. Aku mulai menghubungi kontak yang tertera untuk menanyakan perihal lowongan itu dan aku pun diundang untuk interview.

Saat interview dengan pemberi kerja tersebut aku kaget dan tidak menyangka bahwa ternyata dia adalah aktivis yang sudah aku kagumi sejak tahun 2014. Aku tak pernah menyangka bisa bekerja dengan beliau. Kontrak kerja dan gaji yang ditawarkan saat itu sesuai dengan yang aku inginkan,apalagi dia adalah orang yang aku kagumi sejak tahun 2014. Dari situ hidupku perlahan mulai berubah. Aku diperlakukan layaknya pekerja yang mendapatkan hak-haknya. Tidak hanya itu, aku juga diberikan ruang untuk berkembang dan berkarya sesuai dengan passion dan minat aku. Aku menjadi sadar bahwa aku adalah korban kekerasan dan penyintas, korban dari stigma PRT yang melihat bahwa PRT adalah budak atau pembantu bukan pekerja, sehingga selama bekerja sebagai PRT aku tidak pernah mendapatkan hak-hakku. Dari bos aku yang sekarang aku mulai belajar mengenai isu perempuan dan isu PRT.

Dengan belajar isu PRT, aku mulai tahu bahwa sebutan ART (Asisten Rumah Tangga) sangat tidak patut untuk digunakan karena PRT bukan asisten akan tetapi pekerja, apalagi sebutan pembantu, sungguh sangat tidak layak digunakan. Pun aku mulai tahu dan paham perihal kerja layak dan hak-hak PRT.

Berangkat dari hal-hal tersebut, aku mulai bergabung dengan beberapa organisasi perempuan untuk belajar dan bekerja tentang isu-isu PRT dan perempuan. Suatu kebahagiaan dan privilege bisa diberikan ruang untuk belajar di berbagai organisasi perempuan, karena di luar sana masih banyak PRT yang mendapatkan diskriminasi dan kekerasan. Dari latar belakang, pengalaman, dan ilmu yang aku dapatkan, aku ingin berbagi dan juga mengampanyekan hak-hak PRT, karena aku yakin setiap hal kecil yang aku lakukan untuk menyuarakan isu PRT akan bermanfaat.

Cerita ini aku tulis sebagai sharing pengalaman dan refleksi aku sebagai perempuan yang berprofesi sebagai PRT yang rentan akan diskriminasi dan kekerasan. Dengan harapan siapapun yang membaca tulisan ini akan memiliki harapan untuk keluar dari lingkaran kekerasan, serta mendapatkan perlindungan dan ruang aman. Dimulai dari mengubah sebutan ART menjadi PRT dan tentunya menyuarakan hak-hak PRT adalah sebuah langkah besar dan dukungan yang sangat berarti untuk teman-teman PRT.

Satu tanggapan untuk “Aku Pekerja Rumah Tangga: Bukan Asisten Rumah Tangga, Apalagi Pembantu Rumah Tangga”

  1. […] Baca juga: Aku Pekerja Rumah Tangga: Bukan Asisten Rumah Tangga, Apalagi Pembantu Rumah Tangga […]

    Suka

Tinggalkan Balasan ke Kekerasan Psikis: Dianggap Sepele Padahal Fatal Akibatnya – Perca for Women Batalkan balasan

Sedang Tren